Dirut Bank BUMN Sebut Likuiditas Perbankan Masih Ketat

WARTABANK.COM, Jakarta – Likuiditas perbankan saat ini berada pada kondisi yang sangat ketat. Bank-bank BUMN menyebut hal ini menjadi tantangan bisnis perbankan ke depan.

Situasi ini tidak hanya dialami oleh industri di tingkat nasional, tetapi juga secara global, sehingga menjadi tantangan bagi lembaga perbankan.

Darmawan Junaidi, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), menyatakan bahwa pihaknya sedang mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut.

Hal ini sejalan dengan upaya bank milik negara tersebut dalam memproyeksikan pertumbuhan dan merumuskan strategi bisnis untuk tahun 2025.

Darmawan juga menekankan pentingnya Purchase Managers’ Index (PMI) Manufaktur, yang mencerminkan rata-rata risiko terhadap faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan, yang selama empat bulan terakhir menunjukkan angka negatif.

“Kondisi likuiditas perbankan sangat ketat. Kami sangat khawatir terhadap risiko penurunan daya beli yang semakin meningkat, mungkin disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor,” ungkap Darmawan.

Ia menambahkan bahwa meskipun tren suku bunga acuan telah menurun, kondisi likuiditas perbankan tetap ketat. Hal ini disebabkan oleh Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang masih menawarkan imbal hasil tinggi, menjadikannya instrumen yang lebih menarik dibandingkan produk perbankan lainnya.

“Oleh karena itu, saat ini penurunan suku bunga tidak langsung direspons oleh pasar, karena masyarakat telah melihat adanya saluran dengan ekspektasi yield yang lebih tinggi, meskipun suku bunga mengalami penurunan, namun secara keseluruhan biaya dana (CoF) semua bank justru meningkat,” jelas Darmawan.

Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) juga menilai bahwa kondisi makro global saat ini memberikan tekanan pada likuiditas perbankan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, berpendapat bahwa perbankan akan menghadapi situasi yang cukup sulit.

Apalagi, kemenangan Donald J. Trump dalam pemilihan presiden AS dapat memengaruhi kebijakan tarif impor dan penurunan pajak, yang berpotensi mendorong inflasi dan menyulitkan The Fed untuk melakukan pemangkasan suku bunga lebih lanjut.

Ekspektasi awal kita mengenai penurunan suku bunga yang agresif tampaknya tidak akan terwujud, karena terlihat bahwa penurunan suku bunga dolar AS akan sulit untuk diprediksi lebih tajam.

Hal ini akan menjadi tantangan signifikan bagi perbankan dalam melakukan ekspansi pada tahun 2025, seperti yang disampaikan oleh Royke dalam kesempatan tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa kebijakan suku bunga deposito yang tinggi dari Bank Indonesia (BI) berdampak pada pergerakan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan.

Tingginya suku bunga menyebabkan DPK cenderung beralih dari perbankan ke instrumen investasi pemerintah.

“Akibatnya, tekanan likuiditas perbankan di rupiah masih akan tetap tinggi,” tambah Royke.

Meskipun demikian, ia percaya bahwa kebijakan ekonomi pemerintah saat ini akan berfokus pada peningkatan daya beli masyarakat, prioritas pada sektor pertanian, serta peningkatan investasi.

Dengan demikian, diharapkan akan terjadi sinkronisasi antara kebijakan moneter dan fiskal, sehingga kebijakan pemerintah dapat berjalan dengan baik sesuai harapan. []